Bonus Demografi Indonesia: Peluang atau Jurang?
1 hari lalu
Macan Asia yang tertidur adalah julukan lama yang kerap disematkan kepada Indonesia. Sampai kapan akan terlelap?
***
Macan Asia yang tertidur adalah julukan lama yang kerap disematkan kepada Indonesia. Julukan ini lahir karena negeri ini memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia, terutama di kawasan Asia. Letak geografis yang strategis membuat Indonesia kaya akan sumber daya alam (SDA), mulai dari tambang, maritim, hingga pertanian.
Namun, potensi ini hanyalah modal awal. SDA yang melimpah tidak akan memberikan hasil maksimal tanpa sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka harapan hidup masyarakat Indonesia pada 2024 mencapai 70,32 tahun, naik dari 69,83 tahun pada 2020. Peningkatan ini menandakan perbaikan kesehatan masyarakat dan memberikan sinyal bahwa jumlah penduduk produktif akan semakin banyak.
Peluang Bonus Demografi
Fenomena bonus demografi adalah kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar dibandingkan penduduk usia nonproduktif. BPS memproyeksikan puncak bonus demografi Indonesia terjadi pada 2030–2035, ketika sekitar 64 persen penduduk berada dalam usia produktif.
Kondisi ini membuka peluang besar untuk mewujudkan cita-cita “Indonesia Emas 2045” — tahun ketika Indonesia ditargetkan masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia. Kombinasi SDA yang melimpah dan SDM yang unggul, apabila dikelola dengan baik, dapat menjadi kunci keberhasilan.
Kunci utama keberhasilan terletak pada pendidikan. Perbaikan infrastruktur, kurikulum berorientasi jangka panjang, peningkatan kualitas tenaga pendidik, serta pemerataan akses pendidikan menjadi prioritas. Dengan pendidikan bermutu, masyarakat akan sadar akan potensinya dan mampu menjadi penggerak ekonomi nasional.
Selain itu, Indonesia memiliki modal penting berupa sistem pemerintahan demokratis dan ideologi Pancasila. Keduanya menjadi fondasi masyarakat untuk bebas berpikir, berinovasi, dan berekspresi, tanpa meninggalkan nilai moral dan budaya lokal. Pendidikan yang fleksibel, berbasis nilai agama dan budaya, serta terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan akan menjadi bekal menghadapi tantangan global.
Tantangan di Balik Peluang
Meski peluang terbuka lebar, tantangan yang dihadapi tidak sedikit. Pertumbuhan penduduk yang pesat dapat memicu kepadatan dan urbanisasi yang tidak merata, apalagi jika pembangunan terus terpusat di Pulau Jawa.
Di sisi lain, kualitas tata kelola pemerintahan masih menjadi pekerjaan rumah. Indeks demokrasi Indonesia yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Indonesia dalam kategori flawed democracy (demokrasi cacat) dengan tren penurunan skor dalam beberapa tahun terakhir. Indikator yang disoroti mencakup melemahnya kebebasan sipil, praktik dinasti politik, nepotisme, dan korupsi.
Jika peluang bonus demografi ini gagal dimanfaatkan, Indonesia justru bisa menghadapi lonjakan pengangguran usia muda, meningkatnya beban sosial, hingga meluasnya kesenjangan ekonomi. Sebuah laporan Bank Dunia (2023) bahkan memperingatkan bahwa negara yang gagal mengelola bonus demografi akan kehilangan kesempatan emas untuk melompat ke status negara maju.
Pendidikan pun menghadapi hambatan serius. Salah satu masalah utama adalah campur tangan politik dalam kebijakan. Pergantian menteri kerap diikuti perubahan kurikulum yang tidak berkesinambungan. Akibatnya, pendidikan sering menjadi ajang pencitraan politik, bukan prioritas pembangunan jangka panjang.
Resolusi 2025 untuk 2045
Bangsa Indonesia harus optimistis dan segera berbenah. Pola pikir sempit dan kaku perlu direformasi menjadi visi yang terbuka, maju, dan progresif. Benih kesadaran itu mulai tumbuh, ketika masyarakat kian sadar bahwa isu bonus demografi bersifat mendesak.
Langkah awal harus dimulai dari otoritas negara. Pemerintah perlu berkomitmen membersihkan unsur korupsi, memperbaiki alokasi anggaran, dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Ekonomi Indonesia tidak boleh hanya bergantung pada konsumsi, tetapi juga diarahkan menjadi ladang inovasi. Budaya hedonisme harus diganti dengan budaya produktif dan investasi.
Dari aspek pendidikan, reformasi perlu berjalan paralel. Kementerian Pendidikan mulai mengembangkan kurikulum berbasis pemahaman mendalam dan teknologi, alih-alih sekadar mengganti kurikulum baru. Komitmen untuk meningkatkan literasi melalui pengalokasian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), termasuk 20–40 persen untuk honor guru dan minimal 10 persen untuk perpustakaan, menjadi langkah penting membangun fondasi SDM berkualitas.
Menurut Prof. Mira Prasetyo, peneliti demografi LIPI, “Bonus demografi ibarat pedang bermata dua. Jika dikelola dengan baik, akan membawa kemakmuran. Jika gagal, ia akan menjadi beban yang menghantui bangsa di masa depan.”
Ekonomi, geopolitik, dan pendidikan adalah fondasi utama bagi Indonesia untuk melangkah menuju negara maju. Semua itu kini didukung oleh limpahan bonus demografi. Tetapi momentum ini hanya datang sekali.
Jika dikelola dengan strategi jangka panjang, bonus demografi bisa menjadi batu loncatan menuju Indonesia Emas 2045. Namun jika diabaikan, ia justru akan berubah menjadi jurang yang menjerumuskan bangsa.Pilihannya jelas bonus demografi harus menjadi berkah, bukan kutukan.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Bonus Demografi Indonesia: Peluang atau Jurang?
1 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler